TRADISI PEMBUATAN PERAHU ORANG WAKDE

0
184
Perahu tradisional orang Wakde
Perahu tradisional orang Wakde masa sekarang. (Foto. Jundi Muhammad)

Kajian Perubahan Tradisi Pembuatan Perahu Akibat Dampak Pendudukan Pasukan Jepang dan Sekutu Pada Masa Perang Dunia ke 2 di Pulau Wakde

Penulis : Agustinus J.E. Mawara
Peneliti, Media Pustaka Papua 
email : mawaraagus@gmail.com

 

Dulu orang menyebut Pulau Wakde dengan sebutan Pulau Mo atau Moar, mengikuti nama suku yang pertama mendiami Pulau Wakde yaitu suku Moar. Bentuk perahu orang-orang Moar atau orang Pulau Wakde mirip dengan perahu di daerah Tanah Merah. Yang membedakan perahu orang Wakde dengan wilayah lain adalah ukiran dan ornamen yang dipasang pada perahu.

Pulau Wakde adalah salah satu wilayah terluar Kabupaten Sarmi Provinsi Papua, di pulau ini terdapat jejak dan sisa benda peninggalan perang dunia ke 2, milik pasukan Jepang dan Sekutu. Menunjukan bahwa Pulau Wakde mempunyai kedudukan penting dimasa perang dunia ke 2 sehingga diduduki pasukan Jepang kemudian direbut oleh pasukan Sekutu. Betapa pentingnya pelestarian situs perang dunia ke 2 di Pulau Wakde untuk kepentingan pendidikan, sejarah dan budaya, maka Pemerintah Kabupaten Sarmi perlu mengusulkan situs Pulau Wakde sebagai cagar budaya nasional.

Merujuk pada pasal 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yaitu pelestarian cagar budaya ditujukan untuk :

  1. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia
  2. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya
  3. Memperkuat kepribadian bangsa
  4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
  5. Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional

Berdasarkan uraian diatas terdapat warisan budaya masyarakat Wakde yang perlu dilestarikan sebagai bagian dari budaya Bangsa Indonesia, adalah pembuatan perahu tradisional Pulau Wakde, yang kini mengalami perubahan nilai akibat dampak perang dunia ke 2 yang dialami masyarakat dimasa itu. Dengan demikian perlu dilakukan kajian agar diketahui bentuk dan nilai-nilai tradisi yang terkandung didalam pengetahuan pembuatan perahu tradisional orang Wakde, serta perkembangan tradisi pembuatan perahu orang Wakde dimasa kini.

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan diatas maka rumusan masalah dapat diuraikan sebagi berikut : (1).  Bagaimana bentuk asli perahu tradisional orang Wakde, (2). Bagaimana dampak pendudukan Jepang dan Sekutu terhadap perkembangan perahu tradisional orang Wakde. Agar mencapai tujuan penilitian : (1). Memperoleh informasi tentang bentuk asli perahu tradisional orang Wakde, (2). Mengetahui dampak pendudukan Jepang dan Sekutu terhadap perkembangan perahu tradisional orang  Wakde.

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada bentuk dan nilai tradisi pembuatan perahu masyarakat Pulau Wakde, serta dampak pendudukan Jepang dan Sekutu di Pulau Wakde terhadap perubahan nilai tradisi perahu tradisional orang Wakde. Guna menunjang penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, atau pengamatan, pada objek penelitian di kampung Pulau Wakde. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan dan tinjauan pustaka. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang tua sebagai informan dan masyarakat di Pulau Wakde, begitupun pengamatan dilakukan terhadap aktifitas masyarakat di Pulau Wakde, yang terfokus pada penggunaan perahu tradisional, serta bentuk perahu dalam perkembangannya dimasa kini. Selanjutnya tinjauan pustaka, diambila dari tulisan-tulisan terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Sebagai pembanding untuk dicocokan terhadap keakuratan data pustaka dan cerita masyarakat.

 

Perahu tradisional orang Wakde
Perahu tradisional orang Wakde masa sekarang. (Foto. Jundi Muhammad)

Bentuk Perahu Tradisional Orang Wakde dan Perkembangannya

A. Bentuk Asli Perahu Tradisional Orang Wakde :

Pengetahuan orang-orang Wakde untuk pembuatan perahu sudah ada sejak zaman dahulu. tidak diketahui secara pasti waktunya kapan, tetapi berdasarkan penuturan masyarakat kampung Wakde, pengetahuan mereka membuat perahu sudah ada sejak orang tua-tua dulu yang diwariskan turun – temurun. Ciri khas perahu orang Wakde terlihat dari ukiran dan ornamen yang dipasang di perahu. Didalam proses pembuatan perahu ada ritual yang dibatasi hanya kaum laki-laki, dan ada juga melibatkan masyarakat secara umum.

Terdapat tiga jenis perahu tradisional khas Pulau Wakde, masing-masing jenis perahu  dengan bentuk dan peruntukannya antara lain :

1   Perahu wanti, merupakan perahu berukuran kecil memuat satu orang, perahu ini digunakan untuk mencari (melaut mencari ikan), khusus laki-laki,  kaum perempuan dan anak-anak dilarang naik ke perahu ini.

2   Perahu waanu, merupakan perahu agak besar bisa memuat empat orang, perahu jenis ini juga digunakan untuk mencari. Karena ini perahu mencari maka sesuai tradisi perempuan dan anak-anak dilarang naik ke perahu ini.

3  Perahu waaneru, merupakan perahu untuk transportasi, semua orang laki-laki, perempuan, anak-anak, tua, muda bisa naik perahu ini, ukurannya besar bisa memuat puluhan orang. Khusus perahu waaneru terdapat dua ukuran yaitu : (a). waaneru ukuran sedang, dan (b). waaneru ukuran besar.

Menurut penuturan masyarakat, perahu jenis wanti dan waanu selain digunakan untuk mencari, juga digunakan untuk berperang. Maka itulah kaum perempuan dan anak-anak dilarang naik ataupun sekedar duduk-duduk di perahu wanti dan waanu. Alasannya adalah dianggap pantangan apabila perempuan duduk di perahu tersebut akan membawa kesialan, terutama ketika sedang hait. sedangkan anak-anak dikuatirkan terkena benda tajam yang disimpan didalam perahu.

Terkait dengan pengetahuan pembuatan perahu, secara historis teknologi perahu pada masyarkat pesisir pantai utara New Guinea telah maju kurang lebih 1.000 tahun lalu. Dimana budaya petualangan mengarungi lautan masyarakat Austronesia yang berhubungan dengan budaya “lapita” di Kaledonia Baru. Sejak periode-periode tersebut telah berkembang luas dalam mengarungi samudera di pesisir Utara New Guinea. Mengenai masuknya orang Austronesia ke Papua, Riesenfeld menggambarkan migrasi mereka ke Papua dalam teorinya bahwa Irian Jaya telah menerima pengaruh megalithik dari Asia Tenggara melalui 2 jurusan. Pengaruh pertama datang dari Barat melalui kepulauan Indonesia sebelah selatan, lewat kepulauan Maluku menuju bagian Barat Irian Jaya. Pengaruh ke-2, menyebar ke Micronesia sebelum membelok ke arah Barat menuju daerah Sepik di Papua New Guinea melalui Filipina, Sulawesi Utara dan Halmahera. Arus dari arah Barat, mempengaruhi daerah pantai Selatan, Barat dan Utara Irian Jaya sampai ke sungai Mambramo, sedang arus dari arah Micronesia mempengaruhi seluruh Irian Jaya sebelah Baratnya ditentukan di daerah Sentani. Oleh para sejarawan gelombang miggrasi kedua ini disebut orang Melanesia dan Proto Polinesia, dapat dikatakan sebagai orang Melanesia awal di Papua. (Usmany, 2012 : laporan penelitian BPNB Papua)

B. Ciri Khas Perahu Orang Wakde :

Secara umum bentuk perahu orang Wakde mirip dengan masyarakat di pesisir Jayapura, yang membedahkannya adalah ukiran dan oranamen khas Wakde yang dipasang pada setiap jenis perahu. Motif ornamen dan ukiran perahu disesuaikan dengan totem masing-masing suku di Pulau Wakde. Sebutan suku disini mereka gunakan untuk menandai atau menamai kelompok-kelompok migrasi yang datang menetap di Pulau Wakde.

Bagian-bagian perahu orang Wakde terdiri dari badan perahu, steweng (konde perahu)  atau dalam bahasa lokal menyebutnya tabo, yaitu tambahan dibagian atas depan dan belakang perahu, kemudian najun, yaitu kayu melintang sebagai penyeimbai, sepu-sepu, yaitu empat kayu kecil yang dibuat menyilang untuk menahan semang, dan berikutnya  semang, yaitu kayu melintang yang diikat pada najun. tabo depan dan belakang berbeda, motif tabo dibuat sesuai totem masing-masing suku. Begitu juga ukiran di badan perahu dibuat sesuai cerita masing-masing suku di Pulau Wakde.

Menurut bapak Wilhelmus Yane, dulu orang menyebut Pulau Wakde dengan sebutan Pulau Mo atau Moar, mengikuti nama suku yang pertama mendiami Pulau Wakde yaitu suku Moar. Bentuk perahu orang-orang Moar atau orang Pulau Wakde mirip dengan perahu di daerah Tanah Merah.  Terkait dengan penuturan ini James Hornell telah memetakannya antara lain : Teluk Humboldt, Teluk Tanah Merah, Pantai Bonggo dan Kepulauan Arimoa yang terdiri dari, Jamna, Masi-Masi, Wakde, Moar dan Liki merupakan satu wilayah etnografi. Perbedaan antara orang-orang Kepulauan Arimoa dan orang-orang di Teluk Geelvink adalah pengaruh budaya Polinesia lebih kuat di Kepulauan Arimoa. (Haddon dan Hornell, 1936 : 315).

Pada kurun waktu sejarah Kawasan Pasifik, dalam perspektif ilmu antropologi mengenai munculnya Oceania dengan topik diskusi Melanesia, diungkapkan bahwa nama Oceania lebih luas dibandingkan dengan istilah Lautan Pasifik. Didalamnya penyebaran orang-orang Polinesia meliputi : Hawai, Tahiti, Kepulauan Paskha, Selandia Baru, dan Indonesia Timur : NTT, Maluku, Papua, serta Timor Leste. (Neonbasu, 2015 : 229).

Berikut ini gambar sketsa perahu Wakde yang dibuat oleh James Hornell, dikutif dari Cano in New Guinea :

Sketsa perahu Wakde
Sketsa 1. Perahu Wakde, dibuat oleh James Hornell

 

Sketsa perahu wanti
Sketsa 2. Perahu wanti, oleh James Hornell

Keterangan : (a). badan perahu, (b). bagian dalam perahu tempat mengikat najun, (c). ukiran dinding perahu dan ornamen bermotif burung

Sebagai Pembanding antara gambar sketsa 1 dan sketsa 2 berikut ini gambar miniatur perahu khas Pulau Wakde, dan perahu tradisional di Pulau Wakde masa kini.

Miniatur perahu Wakde
Miniatur perahu wanti di Pulau Wakde. (Foto : A. Mawara)
perahu wakde
Perahu orang Wakde kini beruba bentuk. (Foto : Jundi Muhammad)

Ritual Pembuatan Perahu :

Orang-orang Wakde pada masa lampau mengenal dua jenis ritual pembuatan perahu yaitu :

  1. Ritual yang bersipat tertutup, hanya diperbolehkan kaum laki-laki saja. Hal ini khusus untuk pembuatan perahu jenis wanti dan waanu, karena akan diperuntukan buat perahu mencari sehingga ada pantangan tertentu terhadap perempuan dan anak-anak.
  2. Ritual yang bersifat terbuka, dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara umum dikampung. Hal ini khusus untuk pembuatan perahu jenis waaneru.

Secara umum dalam proses ritual dimaksud, dimulai dari menebang pohon. Untuk menebang pohon dilakukan oleh orang tertentu atau orang yang memiliki kemampuan khusus secara supranatural tentang menentukan pohon terbaik untuk pembuatan perahu, agar hasilnya memuaskan. Setelah perahu sudah jadi akan dites di laut menabrak ombak untuk menguji kekuatan perahu tersebut. Ritual untuk perahu waaneru melibatkan orang banyak dibuat pesta rakyat jamun makan bersama, setelah itu najun perahu diikat dengan daun sere lalu perahu dibawa ke laut dan diuji menantang ombak.

Dampak Pendudukan Jepang dan Sekutu

Pada masa pendudukan jepang dan sekutu di Pulau Wakde, 1942-1944, masyarakat merasa tidak aman sehingga memilih mengungsi ke kampung tetangga. menurut penuturan Sadrak Tomke, kepala kampung Wakde Pulau, sesuai cerita orang tuanya bahwa dulu ketika pasukan sekutu hendak menyerang pasukan Jepang di Pulau Wakde, mereka menyebar selebaran dari atas pesawat, di daerah Sarmi dan sekitarnya berisi himbawan kepada masyarakat untuk mengungsi dari Pulau Wakde. Mendapat informasi tersebut masyarakat mengungsi ke tempat aman di Pulau Liki dan kampung terdekat lainnya. Mereka tinggal untuk waktu yang cukup lama setelah itu barulah kembali lagi membangun di Pulau Wakde. Kondisi ini diperkirakan turut mempengaruhi orang-orang Wakde terkait pembuatan perahu, mereka telah menerima nilai-nilai baru tentang pembuatan perahu dan diterapkan didalam kelompok orang Wakde.

Masa Sekarang  :

Pada perkembangan masa sekarang, sudah jarang ditemui jenis-jenis perahu wanti, waanu dan waaneru. Ada beberapa orang tua di kampung Wakde membuat miniatur perahu-perahu dimaksud, untuk memperkenalkan kepada kalangan anak muda maupun orang luar yang berkunjung ke Wakde tentang perahu khas orang Wakde. Perahu-perahu tradisional yang terdapat di Pulau Wakde sekarang ini sudah berubah bentuk, tidak lagi memperlihatkan ukiran ciri khas perahu orang Wakde. peruntukannya juga terbatas untuk melaut mencari ikan. Sedangkan untuk kebutuhan transportasi telah menggunakan perahu piber dengan mesin tempel atau motor jonson.

Kesimpulan

Orang-orang Wakde memiliki pengetahuan pembuatan perahu sejak dulu secara turun-temurun, bentuk perahu tradisional yang digunakan pada masa sekarang diperkirakan telah mengalami perubahan karena penerimaan nilai-nilai budaya baru terkait teknologi pembuatan perahu. Perahu khas orang Wakde merupakan suatu warisan budaya yang perlu dikembangkan dan dilestarikan, untuk tujuan pendidikan dan pengembangan pariwisata. Pengembangan dan pelestarian masih bisa dilakukan karena masih ada orang tua-tua di kampung Wakde yang bisa membuat perahu jenis wanti, waanu dan waaneru.

 

Referensi

Haddon, A.C. dan Hornell, J. 1936 Canoes of Oceania. Bernice P. Bishop Museum Special. Hawai

Neonbasu Gregor. 2015 Refleksi Antropologi Melanesia : Dalam Jaringan Ingatan Kolektif (Mencari Kisah di Balik Tradisi Lisan). Kemendikbud. Jakarta

Usmany Desy. 2012 Sejarah Transportasi Orang Biak. Laporan penelitian BPNB Papua. Jayapura

 

 

 

 

 

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here